![]() |
Tim PKM mahasiswa UMM meneliti nilai-nilai luhur dalam budaya mberot. |
MALANG– Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melaksanakan penelitian tentang nilai religius-spiritual budaya mberot bagi generasi alpha. Kegiatan tersebut didanai dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Riset Sosial Humaniora, Kemendikti Saintek 2025. Tim PKM tersebut diketuai oleh Meilisa Tri Adinda Putri dengan anggota Febila Serlina Efendi, Fitriya Maharani, Ana Maulida Azura, dan Wiga Septiyan Vindiani. Mereka di bawah arahan Dosen Pembimbing Penelitian, Dr. Dyah Worowirastri Ekowati S.Pd, M.Pd.
Menurut Meilisa Tri Adinda Putri disapa Meilisa, riset Tim PKM mahasiswa UMM ini berdasarkan budaya Mberot di Malang Raya populer melalui atraksi bantengan. Gerakannya lincah dengan alunan irama Jawa maupun modern. Hal ini tambah menarik karena kostum banteng dengan kubud menambah pertunjukan menarik perhatian.
Ternyata di balik Mberot terdapat nilai religius dan spiritual yang menyertai setiap pertunjukkannya. Tradisi seperti setrenan dan doa bersama menjadi bagian penting yang tidak pernah terlepas dari mberot. Ritual ini pelengkap acara sekaligus dasar yang meneguhkan makna pertunjukan. Namun, sisi religius tersebut tertutup informasi negative yang kadang muncul dalam beberapa pentas.
Atas dasar realitas inilah, Meilisa bersama tim PKM meneliti nilai-nilai luhur yang tersimpan dalam budaya mberot dan menunjukkan bahwa kesenian rakyat ini bisa menjadi sarana pengalaman positif dan pendidikan karakter bagi generasi Alpha. Sebab nilai religius-spiritual dalam mberot sering dianggap kecil, padahal justru inilah akar yang bisa memperkuat pendidikan karakter anak-anak. Mereka belajar bagaimana menghormati leluhur, berdoa, dan menjaga kebersamaan.
Hal ini terdapat saat riset menemukan salah satu tradisi positif adalah setrenan, sebuah kegiatan yang dilakukan setiap malam Jumat Legi atau setiap 36 hari sekali. Keterlibatan anak-anak dalam doa bersama sangat penting karena generasi alpha akan lebih mudah memahami nilai spiritual jika diajarkan lewat tradisi yang dekat dengan kehidupan mereka.
Dengan ikut serta, anak-anak belajar bahwa doa adalah bagian penting dari setiap kegiatan, bukan hanya rutinitas formal tetapi pengalaman yang menumbuhkan rasa syukur dan kebersamaan. Dari temuan ini tim berharap generasi alpha tidak hanya mengenal mberot sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana belajar nilai kebersamaan, rasa syukur, dan penghormatan terhadap tradisi.
“Kami berharap anak-anak tidak hanya menonton bantengan, tetapi juga ikut merasakan doa dan kebersamaan di baliknya. Dengan begitu, karakter mereka terbentuk secara utuh, baik moral, sosial, maupun religius,” ujar Meilisa.
Meilisa menegaskan penelitian ini menguatkan bahwa mberot bukan sekadar tontonan yang sering dipandang negatif, melainkan warisan budaya yang penuh nilai dan dapat menjadi ruang pendidikan karakter bagi generasi penerus.
Sementara itu, Dosen pembimbing penelitian, Dr. Dyah Worowirastri Ekowati S.Pd., M.Pd, menekankan pentingnya mengembalikan makna mberot yang sebenarnya. “Kalau yang ditonjolkan hanya kericuhan, mberot akan terus dipandang buruk. Padahal ada nilai luhur yang bisa dijadikan pelajaran, terutama untuk anak-anak. Mahasiswa perlu hadir untuk menggali makna itu,” ujarnya.
![]() |
Tim PKM mahasiswa UMM saat penelitian menemukan budaya mberot dijalankan dengan makna religius. |
Melalui penelitian di Kabupaten Malang, Kota Malang, dan sekitarnya, mahasiswa menemukan bahwa mberot masih dijalankan dengan penuh makna religius. Mereka mewawancarai pelaku budaya, tokoh masyarakat, guru, hingga orang tua untuk memperkaya data.
Di tempat berbeda Bapak Fariz, seorang pemilik sanggar budaya menuturkan, bahwa setiap malam Jum’at Legi namanya setrenan, berarti setiap 36 hari sekali itu ada kegiatan setrenan, main budaya mberot di lingkungannya sendiri. Bagi masyarakat, setrenan bukan sekadar pertunjukan, melainkan juga sarana untuk membersihkan diri, menjaga kerukunan warga, serta mempererat hubungan sosial.
Selain setrenan, kata Bapak Faiz, ada juga doa bersama yang dilakukan pada setiap pertunjukan mberot. Doa ini dibacakan tiga kali, yaitu di awal pembukaan acara, saat inti pertunjukan, dan di penutup. Doa dipimpin oleh sesepuh dengan menggunakan sesajen sederhana yang disebut ucok bakal, berupa kelapa, air tape, beberapa macam bunga, telur, rempah-rempah dan sebagainya. Ucok bakal adalah simbol rasa syukur atas keselamatan dan harapan agar acara berjalan lancar. (tim mahasiswa pkm/don)
0 Komentar